Sahabat?
Setiap persahabatan pasti mendapat batu
sandungan. Begitupun dengan persahabatanku. Namun, tak kusangka aku akan
mendapatkan sandungan yang seperti ini di dalam persahabatanku. Bagi sebagian orang
mungkin menganggapnya tidak penting, tapi bagiku masalah ini yang membuatku
ragu akan arti sahabat. Masalah kepercayaan, yang mampu membuatku berpikir
bahwa aku tidak berharga di mata sahabatku sendiri. Dari sekian banyak batu
sandungan di persahabatan kami, hanya inilah yang membuatku berpikir
berkali-kali tentang apa sebenarnya sahabat itu.
Kejadiannya berawal dari siang yang
panas, saat aku dan Anita, sahabatku, pergi bersama untuk mengunjungi teman
masa SMP kami. Denis namanya. Seperti biasa, kami bicara banyak hal dalam
perjalanan. Kami bercanda, tertawa, bahkan bernyanyi bersama. Sangat
menyenangkan. Tak terasa kami telah sampai di depan rumah Denis. Di rumah
Denis, kami bertiga mengobrol dengan asik diselingi canda dan tawa. Sampai
akhirnya, Denis membahas masalah yang herannya aku sama sekali tidak tahu.
Mereka masuk ke topik yang tidak kumengerti.
“Bagaimana perkembangan hubunganmu
denganya, Nit?” Aku hampir bertanya memangnya Anita punya hubungan dengan
siapa?
“Ya gitu.” Jawab Anita. Ada nada
ragu dijawabannya.
“Kemarin dia curhat padaku.” Denis
tesenyum pada Anita. Aku merasa semakin asing pada topik tersebut. Dan siapa
yang Denis maksud? Kenapa Anita tidak pernah cerita?
Anita hanya tersenyum sambil
sedikit melirik kearahku. Denis mengikuti arah pandangan Anita, dan dia
mengerti. Dia mengerti kalau disana ada aku yang tidak mengerti sedikitpun
tentang apa yang mereka bicarakan. Denis lalu bertanya. Aku agak tersinggung
karena dia bertanya dengan nada yang sama sekali tidak merasa bersalah
sedikitpun.
“Kau tahu siapa yang kita
bicarakan?”
“Tentu saja aku tidak tahu, yang
tahu kan hanya kalian.” Aku tekankan kata kalian, untuk merasai mereka. Namun
sepertinya yang merasakannya hanya Anita, Denis malah tertawa mendengarnya.
Membuatku semakin jengkel saja.
“Oya, bagaimana dengan sekolahmu, Mbak?”
Anita mulai mengambil topik lain. Kami bertiga memang tidak satu sekolah. Aku
di SMA, Denis di SMK, dan Anita sendiri tidak sekolah, dia kerja.
“Baik.” Jawabku agak sedikit ketus.
“Banyak cowok-cowok ganteng nggak?”
Dia mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. Tapi entahlah moodku sudah
jelek.
“Nggak tahu.”
“Dia mana tahu soal cowok ganteng.
Belajar jatuh cinta dulu sana.” Denis menanggapi dengan sedikit candaan juga. Aku
agak kesal kenapa dia ikut dalam pembicaraan kami? Ingin rasanya aku membuatnya
merasakan apa yang aku rasakan tadi.
“Berarti tidak ada yang cukup
ganteng karena tidak ada yang bisa membuatku jatuh cinta.” Aku mulai terpancing
untuk berargumen dengan Denis.
“Banyak kok cowok SMA yang lumayan
ganteng, aku pernah lihat.”
“Oya? Kau lebih tahu dari aku ya?
Kau memang lebih tahu segalanya dibanding aku.” Aku tersenyum menjawabnya,
namun ada nada menyindir disana. Dan Anita merasa, dia sedikit menoleh
kearahku. Denis juga merasa aneh dengan jawabanku.
Aku akhirnya memutuskan untuk tidak
melanjutkan obrolan. Aku keluar dengan alasan mau cari angin. Kutinggalkan
mereka berdua ngobrol sesukanya. Bukankah dengan begitu tidak ada yang membuat
mereka merasa tidak enak lagi.
Diluar, aku merenung. Aku merenung
tentang kejadian tadi, tentang aku yang tidak dipercaya oleh Anita. Padahal aku
kan sahabatnya. Jadi, mengapa aku tidak dipercaya oleh sahabatku? Aku merenung
lagi, apa sebenarnya sahabat itu? Apakah hanya sekedar orang-orang yang mengisi
hari kita? Lalu apa bedanya dengan teman sekelas? Aku rasa yang membuat mereka
berbeda adalah kepercayaan yang terjalin diantara sahabat dan teman. Lalu,
kenapa Denis yang katanya hanya teman masa SMP mendapat kepercayaan untuk
mengetahui siapa yang sedang dekat dengan Anita, sahabatku? Apa itu berarti
kalau aku bukanlah sahabatnya? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku. Sampai
akhirnya Anita menghampiriku untuk pulang karena hari telah senja.
Kami pulang dengan keadaan yang
sama sekali berbeda dengan saat kita berangkat tadi. Tidak ada canda, tawa
bahkan obrolan. Aku hanya menanggapi omongannya seperlunya. Aku masih kesal
padanya. Aku merasa seperti dikhianati sebagai seorang sahabat. Dan lagi,
agaknya dia merasa sedikit canggung karena jawabanku yang tidak seperti biasa.
Kami sampai dirumah. Kami yang
biasanya memiliki salam perpisahan sendiri, tidak kulakukan. Aku hanya
mengucapkan terimakasih dan menunggunya untuk pergi. Aku yang biasanya selalu
tersenyum, kini tidak nampak secuil senyumpun dari bibirku. Untuk beberapa saat
dia masih menunggu sesuatu, mungkin salam perpisahan kami yang khas itu. Tapi
karena dia melihatku hanya berdiri saja, akhirnya dia pun berpamitan juga. Dia
masih mengulumkan senyumnya padaku sebelum pergi dari depan rumahku. Setelah
dia membelokkan motornya, aku langsung masuk rumah. Tidak menunggunya menghilang
di belokkan jalan seperti biasa.
Seperti biasa ketika aku mendapat
masalah, aku akan langsung mengurung diri di kamar dan langsung membuat video.
Itu kebiasaanku. Aku akan mengeluarkan unek-unekku di depan kamera. Aku selalu
merasa lebih baik setelah melakukannya. Aku melakukannya di kamar dan
menguncinya agar tak seorang pun tahu. Aku mulai merekam.
“Berapa kali kau bilang kalau kita
sahabat?” Aku memandang tajam ke arah kamera.
“Apa sih sahabat itu?” Aku
tersenyum perih saat mengatakannya.
“Apakah dia lebih berarti dari
orang yang Kau sebut sahabat ini?” Aku mulai curhat. Aku menunjuk diriku
sendiri saat mengatakannya. Denislah yang kumaksud dengan ‘dia’.
“Apakah salah kalau aku meminta
kepercayaan darimu? Kenapa Kau lebih memilih menceritakannya kepada dia yang
katanya adalah temanmu daripada aku yang kesana kemari selalu disebut sebagai
sahabatmu?” Aku menunduk.
“Apa dia lebih pantas?” Aku mulai
mengangkat wajahku. Tepat menghadap kamera, aku mengatakan “Apa aku tidak
pantas menjadi sahabatmu?”
Air mataku mulai jatuh. Kusudahi
rekaman tersebut. Ini sangat bukan diriku. Aku yang biasanya tidak peduli
hal-hal kecil, menangis hanya karena tidak dipercaya. Tapi sangat sakit rasanya
ketika kau tidak lagi dipercaya oleh sahabatmu. Menyedihkan, aku menangis
sampai akhirnya tertidur.
Esok harinya, aku terbangun dengan
perasaan seperti kemarin. Masih sedih. Dunia menerima sambutanku yang sangat
buruk ini, tidak bersemangat. Tapi kuputuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Aku
harus kembali menjadi diriku sendiri. Kembali menjadi diriku yang selalu bisa
mengabaikan masalah kecil. Ini hanya masalah kecil. Ya, masalah kecil. Dengan
pikiran seperti itu, aku bangkit, mandi, dan sarapan dengan lahap setelah
semalaman aku tidak nafsu makan. Aku sudah bertekad akan menjadi diriku sendiri
dan melupakan kejadian kemarin. Kejadian yang tidak penting.
‘Benarkah?’ Terdengar suara dalam
diriku. ‘Benarkah kejadian yang kemarin itu tidak penting? Bukankah itu artinya
dia tidak menganggapmu sebagai sahabat? Dia bahkan lebih mempercayai orang lain
daripada Kau?’
Itu memang benar. ‘Huh, siapa
peduli? Jika dia bisa mengabaikanmu sebagai sahabatnya, Kau juga bisa. Sahabat
yang seperti itu tidak perlu dianggap.’ Bagian diriku yang lain bicara.
Masih bergelut dengan pikiranku,
ada seseorang yang datang ke rumah. Setelah kulihat ternyata Anita. Kenapa dia
datang segala sih? Membuat mood yang susah payah ku susun runtuh kembali.
Akhirnya, aku menemui dia. Kuajak dia masuk dan kupersilahkan duduk.
“Ada apa?”
“Jalan yuk Mbak!” Jawabnya dengan
riang.
“Ini masih jam delapan pagi.”
“Nggak pa-pa, biar bisa lebih lama
bersamamu. Besokkan aku balik kerja.”
“Nggak ah, males.”
“Kenapa Mbak?”
“Kan aku udah bilang, aku males?”
“Tapi kan besok aku balik Mbak.”
“Terserah.” Sepertinya aku
benar-benar mengikuti kata dari bagian diriku yang lain untuk mengabaikan
Anita.
“Kenapa sih Mbak? Kamu marah sama aku?”
Nada bicaranya terdengar sedih dan kecewa.
“Nggak.” Aku merasa tidak enak juga
pada Anita.
“Terus kenapa? Kalau aku salah
bilang dong Mbak apa salahku.” Aku diam.
“Aku nggak mau balik dengan keadaan
sedang marahan sama kamu Mbak. Kalau mau marah, marah aja, selesaikan semuanya
disini.”
Aku masih diam. Aku ingin marah,
tapi aku malu. Apa hal seperti itu penting?
“Jangan cuekin aku dong Mbak!”
“Ck, kamu tuh yang jangan cuekin aku.”
Akhirnya aku terpancing juga.
“Nyuekin kamu gimana?”
“Kamu pikir dengan menceritakan
tentang seseorang yang sedang dekat denganmu kepada Denis sedangkan kepadaku
tidak, itu bukan bentuk nyuekin aku?!” Aku melihatnya sedikit terkejut.
“Kamu pikir dong Nit, kepada Denis
yang hanya teman kita saja kamu beri kepercayaan. Aku yang kamu bilang sahabat
hari ini esok selamanya, mana? Aku sahabatmu bukan sih?” Ini pertama kalinya aku
mengungkapkan apa yang aku rasakan kepada orang lain selain ke video.
“Ya Allah mbak, ya iya lah kamu
sahabatku. Kalau soal Denis, aku cerita ke dia karena dia yang mengenal baik
kita. Kenapa aku nggak cerita ke kamu itu karena,.”
“Kenapa?” Aku mulai mendesak. Aku
masih tidak terima kalau aku tidak dipercaya oleh sahabatku sendiri.
“Karena orang yang sedang dekat
sama aku itu,..” Volume suaranya semakin kecil.
“Siapa?” Aku kan tidak punya orang
yang aku suka, jadi tidak mungkin Anita merahasiakannya karena tidak enak padaku
sebab orang itu adalah orang yang kusuka juga.
“Sepupumu.” Jawabnya malu-malu.
Sungguh, aku kaget bukan main. Mataku
terbelalak lebar. Dia dekat dengan sepupuku? Sepupuku yang pernah satu kelas
juga dengan Anita saat di SMP? Sepupu yang pernah minta dicomblangin dengan
salah satu primadona SMP yang menjadi temanku saat itu? Sejak kapan dia
menyukai Anita? Setelah ini sepupuku itu pasti akan ngrepotin aku sebagai kakak
sepupunya yang bersahabat dengan orang yang disukainya untuk kelancaran
hubungan mereka. Aku menyesal mengetahui hubungan diantara mereka.
“Jadi?” Aku takut alasan kenapa
Anita tidak menceritakannya padaku sama dengan yang aku pikirkan.
“Aku takut kamu akan menggodaku
saat aku menceritakannya padamu.” Hah? Alasan macam apa itu? Aku pikir dia akan
mengatakan, ‘Aku takut dia akan memanfaatkanmu kalau aku dan dia sedang ada
masalah, Mbak’. Yah, setidaknya jawaban itu akan menghiburku sedikit. Tapi ini?
Alasan yang nggak masuk akal.
“Kurang kerjaan banget aku?”
“Hehe. Jadi sudah nggak marah kan?”
Aku hanya meliriknya sebentar lalu tersenyum. Dia juga tersenyum, tidak, dia
tersenyum lebar. Dia langsung memelukku. Hubungan kami kembali seperti sedia
kala.
Akhirnya, kami jalan-jalan untuk
menghabiskan waktu kebersamaan kami yang tinggal sebentar. Kami kembali
bercanda, tertawa, bernyanyi bersama, dan mengobrol tanpa kehabisan topik.
Persahabatan memang menyenangkan disaat kita saling terbuka. Hari-hari
berikutnya aku kembali mengucapkan selamat pagi kepada dunia dan sahabatku
dengan senyuman.
Itulah salah satu masalah yang aku
hadapi dalam persahabatan kami. Masalah yang mengubahku menjadi pribadi yang
mampu mengungkapkan isi hatinya. Jika dulu aku hanya mampu merekamnya, sekarang
aku sudah bisa mengatakannya. Bahkan aku tertawa sendiri saat melihat hasil
rekamanku. Sungguh lucu.
Eva Fitri