Senin, 28 September 2015

puisiku



Jawaban

Pegang dan rasakan
Betapa denyut jantung ini bertalu-talu
Menunggu lamanya suara itu keluar
Dari mulutmu

Pegang dan rasakan
Keringat dingin di tanganku
Gugup atas jawaban yang akan kau lontarkan
Atas pertanyaanku

Pegang dan rasakan
Jantungku tak lagi bersuara
Ketika kau katakan, Iya
Untuk segalanya

Tak perlu kau pegang dan rasakan lagi
Karena sudah terpancar dari wajahku
Betapa aku sangat bahagia atas jawaban itu
Jawaban yang mengukuhkan hubungan ini

 Fee-note

Selasa, 22 September 2015

kala sahabat tak lagi dipercaya



Sahabat?


Setiap persahabatan pasti mendapat batu sandungan. Begitupun dengan persahabatanku. Namun, tak kusangka aku akan mendapatkan sandungan yang seperti ini di dalam persahabatanku. Bagi sebagian orang mungkin menganggapnya tidak penting, tapi bagiku masalah ini yang membuatku ragu akan arti sahabat. Masalah kepercayaan, yang mampu membuatku berpikir bahwa aku tidak berharga di mata sahabatku sendiri. Dari sekian banyak batu sandungan di persahabatan kami, hanya inilah yang membuatku berpikir berkali-kali tentang apa sebenarnya sahabat itu.
Kejadiannya berawal dari siang yang panas, saat aku dan Anita, sahabatku, pergi bersama untuk mengunjungi teman masa SMP kami. Denis namanya. Seperti biasa, kami bicara banyak hal dalam perjalanan. Kami bercanda, tertawa, bahkan bernyanyi bersama. Sangat menyenangkan. Tak terasa kami telah sampai di depan rumah Denis. Di rumah Denis, kami bertiga mengobrol dengan asik diselingi canda dan tawa. Sampai akhirnya, Denis membahas masalah yang herannya aku sama sekali tidak tahu. Mereka masuk ke topik yang tidak kumengerti.
“Bagaimana perkembangan hubunganmu denganya, Nit?” Aku hampir bertanya memangnya Anita punya hubungan dengan siapa?
“Ya gitu.” Jawab Anita. Ada nada ragu dijawabannya.
“Kemarin dia curhat padaku.” Denis tesenyum pada Anita. Aku merasa semakin asing pada topik tersebut. Dan siapa yang Denis maksud? Kenapa Anita tidak pernah cerita?
Anita hanya tersenyum sambil sedikit melirik kearahku. Denis mengikuti arah pandangan Anita, dan dia mengerti. Dia mengerti kalau disana ada aku yang tidak mengerti sedikitpun tentang apa yang mereka bicarakan. Denis lalu bertanya. Aku agak tersinggung karena dia bertanya dengan nada yang sama sekali tidak merasa bersalah sedikitpun.
“Kau tahu siapa yang kita bicarakan?”
“Tentu saja aku tidak tahu, yang tahu kan hanya kalian.” Aku tekankan kata kalian, untuk merasai mereka. Namun sepertinya yang merasakannya hanya Anita, Denis malah tertawa mendengarnya. Membuatku semakin jengkel saja.
“Oya, bagaimana dengan sekolahmu, Mbak?” Anita mulai mengambil topik lain. Kami bertiga memang tidak satu sekolah. Aku di SMA, Denis di SMK, dan Anita sendiri tidak sekolah, dia kerja.
“Baik.” Jawabku agak sedikit ketus.
“Banyak cowok-cowok ganteng nggak?” Dia mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. Tapi entahlah moodku sudah jelek.
“Nggak tahu.”
“Dia mana tahu soal cowok ganteng. Belajar jatuh cinta dulu sana.” Denis menanggapi dengan sedikit candaan juga. Aku agak kesal kenapa dia ikut dalam pembicaraan kami? Ingin rasanya aku membuatnya merasakan apa yang aku rasakan tadi.
“Berarti tidak ada yang cukup ganteng karena tidak ada yang bisa membuatku jatuh cinta.” Aku mulai terpancing untuk berargumen dengan Denis.
“Banyak kok cowok SMA yang lumayan ganteng, aku pernah lihat.”
“Oya? Kau lebih tahu dari aku ya? Kau memang lebih tahu segalanya dibanding aku.” Aku tersenyum menjawabnya, namun ada nada menyindir disana. Dan Anita merasa, dia sedikit menoleh kearahku. Denis juga merasa aneh dengan jawabanku.
Aku akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan obrolan. Aku keluar dengan alasan mau cari angin. Kutinggalkan mereka berdua ngobrol sesukanya. Bukankah dengan begitu tidak ada yang membuat mereka merasa tidak enak lagi.
Diluar, aku merenung. Aku merenung tentang kejadian tadi, tentang aku yang tidak dipercaya oleh Anita. Padahal aku kan sahabatnya. Jadi, mengapa aku tidak dipercaya oleh sahabatku? Aku merenung lagi, apa sebenarnya sahabat itu? Apakah hanya sekedar orang-orang yang mengisi hari kita? Lalu apa bedanya dengan teman sekelas? Aku rasa yang membuat mereka berbeda adalah kepercayaan yang terjalin diantara sahabat dan teman. Lalu, kenapa Denis yang katanya hanya teman masa SMP mendapat kepercayaan untuk mengetahui siapa yang sedang dekat dengan Anita, sahabatku? Apa itu berarti kalau aku bukanlah sahabatnya? Berbagai pertanyaan muncul di kepalaku. Sampai akhirnya Anita menghampiriku untuk pulang karena hari telah senja.
Kami pulang dengan keadaan yang sama sekali berbeda dengan saat kita berangkat tadi. Tidak ada canda, tawa bahkan obrolan. Aku hanya menanggapi omongannya seperlunya. Aku masih kesal padanya. Aku merasa seperti dikhianati sebagai seorang sahabat. Dan lagi, agaknya dia merasa sedikit canggung karena jawabanku yang tidak seperti biasa.
Kami sampai dirumah. Kami yang biasanya memiliki salam perpisahan sendiri, tidak kulakukan. Aku hanya mengucapkan terimakasih dan menunggunya untuk pergi. Aku yang biasanya selalu tersenyum, kini tidak nampak secuil senyumpun dari bibirku. Untuk beberapa saat dia masih menunggu sesuatu, mungkin salam perpisahan kami yang khas itu. Tapi karena dia melihatku hanya berdiri saja, akhirnya dia pun berpamitan juga. Dia masih mengulumkan senyumnya padaku sebelum pergi dari depan rumahku. Setelah dia membelokkan motornya, aku langsung masuk rumah. Tidak menunggunya menghilang di belokkan jalan seperti biasa.
Seperti biasa ketika aku mendapat masalah, aku akan langsung mengurung diri di kamar dan langsung membuat video. Itu kebiasaanku. Aku akan mengeluarkan unek-unekku di depan kamera. Aku selalu merasa lebih baik setelah melakukannya. Aku melakukannya di kamar dan menguncinya agar tak seorang pun tahu. Aku mulai merekam.
“Berapa kali kau bilang kalau kita sahabat?” Aku memandang tajam ke arah kamera.
“Apa sih sahabat itu?” Aku tersenyum perih saat mengatakannya.
“Apakah dia lebih berarti dari orang yang Kau sebut sahabat ini?” Aku mulai curhat. Aku menunjuk diriku sendiri saat mengatakannya. Denislah yang kumaksud dengan ‘dia’.
“Apakah salah kalau aku meminta kepercayaan darimu? Kenapa Kau lebih memilih menceritakannya kepada dia yang katanya adalah temanmu daripada aku yang kesana kemari selalu disebut sebagai sahabatmu?” Aku menunduk.
“Apa dia lebih pantas?” Aku mulai mengangkat wajahku. Tepat menghadap kamera, aku mengatakan “Apa aku tidak pantas menjadi sahabatmu?”
Air mataku mulai jatuh. Kusudahi rekaman tersebut. Ini sangat bukan diriku. Aku yang biasanya tidak peduli hal-hal kecil, menangis hanya karena tidak dipercaya. Tapi sangat sakit rasanya ketika kau tidak lagi dipercaya oleh sahabatmu. Menyedihkan, aku menangis sampai akhirnya tertidur.
Esok harinya, aku terbangun dengan perasaan seperti kemarin. Masih sedih. Dunia menerima sambutanku yang sangat buruk ini, tidak bersemangat. Tapi kuputuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Aku harus kembali menjadi diriku sendiri. Kembali menjadi diriku yang selalu bisa mengabaikan masalah kecil. Ini hanya masalah kecil. Ya, masalah kecil. Dengan pikiran seperti itu, aku bangkit, mandi, dan sarapan dengan lahap setelah semalaman aku tidak nafsu makan. Aku sudah bertekad akan menjadi diriku sendiri dan melupakan kejadian kemarin. Kejadian yang tidak penting.
‘Benarkah?’ Terdengar suara dalam diriku. ‘Benarkah kejadian yang kemarin itu tidak penting? Bukankah itu artinya dia tidak menganggapmu sebagai sahabat? Dia bahkan lebih mempercayai orang lain daripada Kau?’
Itu memang benar. ‘Huh, siapa peduli? Jika dia bisa mengabaikanmu sebagai sahabatnya, Kau juga bisa. Sahabat yang seperti itu tidak perlu dianggap.’ Bagian diriku yang lain bicara.
Masih bergelut dengan pikiranku, ada seseorang yang datang ke rumah. Setelah kulihat ternyata Anita. Kenapa dia datang segala sih? Membuat mood yang susah payah ku susun runtuh kembali. Akhirnya, aku menemui dia. Kuajak dia masuk dan kupersilahkan duduk.
“Ada apa?”
“Jalan yuk Mbak!” Jawabnya dengan riang.
“Ini masih jam delapan pagi.”
“Nggak pa-pa, biar bisa lebih lama bersamamu. Besokkan aku balik kerja.”
“Nggak ah, males.”
“Kenapa Mbak?”
“Kan aku udah bilang, aku males?”
“Tapi kan besok aku balik Mbak.”
“Terserah.” Sepertinya aku benar-benar mengikuti kata dari bagian diriku yang lain untuk mengabaikan Anita.
“Kenapa sih Mbak? Kamu marah sama aku?” Nada bicaranya terdengar sedih dan kecewa.
“Nggak.” Aku merasa tidak enak juga pada Anita.
“Terus kenapa? Kalau aku salah bilang dong Mbak apa salahku.” Aku diam.
“Aku nggak mau balik dengan keadaan sedang marahan sama kamu Mbak. Kalau mau marah, marah aja, selesaikan semuanya disini.”
Aku masih diam. Aku ingin marah, tapi aku malu. Apa hal seperti itu penting?
“Jangan cuekin aku dong Mbak!”
“Ck, kamu tuh yang jangan cuekin aku.” Akhirnya aku terpancing juga.
“Nyuekin kamu gimana?”
“Kamu pikir dengan menceritakan tentang seseorang yang sedang dekat denganmu kepada Denis sedangkan kepadaku tidak, itu bukan bentuk nyuekin aku?!” Aku melihatnya sedikit terkejut.
“Kamu pikir dong Nit, kepada Denis yang hanya teman kita saja kamu beri kepercayaan. Aku yang kamu bilang sahabat hari ini esok selamanya, mana? Aku sahabatmu bukan sih?” Ini pertama kalinya aku mengungkapkan apa yang aku rasakan kepada orang lain selain ke video.
“Ya Allah mbak, ya iya lah kamu sahabatku. Kalau soal Denis, aku cerita ke dia karena dia yang mengenal baik kita. Kenapa aku nggak cerita ke kamu itu karena,.”
“Kenapa?” Aku mulai mendesak. Aku masih tidak terima kalau aku tidak dipercaya oleh sahabatku sendiri.
“Karena orang yang sedang dekat sama aku itu,..” Volume suaranya semakin kecil.
“Siapa?” Aku kan tidak punya orang yang aku suka, jadi tidak mungkin Anita merahasiakannya karena tidak enak padaku sebab orang itu adalah orang yang kusuka juga.
“Sepupumu.” Jawabnya malu-malu.
Sungguh, aku kaget bukan main. Mataku terbelalak lebar. Dia dekat dengan sepupuku? Sepupuku yang pernah satu kelas juga dengan Anita saat di SMP? Sepupu yang pernah minta dicomblangin dengan salah satu primadona SMP yang menjadi temanku saat itu? Sejak kapan dia menyukai Anita? Setelah ini sepupuku itu pasti akan ngrepotin aku sebagai kakak sepupunya yang bersahabat dengan orang yang disukainya untuk kelancaran hubungan mereka. Aku menyesal mengetahui hubungan diantara mereka.
“Jadi?” Aku takut alasan kenapa Anita tidak menceritakannya padaku sama dengan yang aku pikirkan.
“Aku takut kamu akan menggodaku saat aku menceritakannya padamu.” Hah? Alasan macam apa itu? Aku pikir dia akan mengatakan, ‘Aku takut dia akan memanfaatkanmu kalau aku dan dia sedang ada masalah, Mbak’. Yah, setidaknya jawaban itu akan menghiburku sedikit. Tapi ini? Alasan yang nggak masuk akal.
“Kurang kerjaan banget aku?”
“Hehe. Jadi sudah nggak marah kan?” Aku hanya meliriknya sebentar lalu tersenyum. Dia juga tersenyum, tidak, dia tersenyum lebar. Dia langsung memelukku. Hubungan kami kembali seperti sedia kala.
Akhirnya, kami jalan-jalan untuk menghabiskan waktu kebersamaan kami yang tinggal sebentar. Kami kembali bercanda, tertawa, bernyanyi bersama, dan mengobrol tanpa kehabisan topik. Persahabatan memang menyenangkan disaat kita saling terbuka. Hari-hari berikutnya aku kembali mengucapkan selamat pagi kepada dunia dan sahabatku dengan senyuman.
Itulah salah satu masalah yang aku hadapi dalam persahabatan kami. Masalah yang mengubahku menjadi pribadi yang mampu mengungkapkan isi hatinya. Jika dulu aku hanya mampu merekamnya, sekarang aku sudah bisa mengatakannya. Bahkan aku tertawa sendiri saat melihat hasil rekamanku. Sungguh lucu.

Eva Fitri

Rabu, 16 September 2015

cerita di siang bolong



Sinetron atau Drama?
Ini adalah cerita tentang pengalamanku dan kedua temanku yang memiliki hobi yang berbeda. Sebenarnya hobi mereka sama, yaitu nonton sinetron atau drama. Nah, ini dia masalahnya. Sinetron digunakan di Indonesia, sedangkan drama biasa digunakan untuk menyebut serial televisi Korea. Hobi berbeda yang aku maksud di awal tadi adalah yang satu menyukai Sinetron Indonesia, sedangkan temanku yang satunya menyukai Drama Korea. Tidak masalah mereka menyukai hal yang berbeda, jika tidak menggangguku. Bagaimana bisa kusebut mengganggu? Begini ceritanya.
Di sebuah siang yang terik, kami bertiga sedang duduk-duduk santai di bawah pohon. Aku akan menyebut dua temanku ini si A dan si B. Aku lupa bagaimana awalnya, namun percakapan kami kemudian mengarah ke sinetron Indonesia dan drama Korea. Mereka mulai berdebat mana yang lebih bagus antara Sinetron Indonesia atau Drama Korea.
Si A yang merupakan pecinta Sinetron Indonesia tidak terima saat si B mengatakan Sinetron Indonesia itu tidak bermutu.
“Sinetron Indonesia itu bagus, tau?!”
“Bagus apanya? Cerita basi, gampang ditebak, terus suka dipanjang-panjangin episode-nya pula. Mending juga Drama Korea, udah terbukti bagusnya.”
“Aku kan pecinta produk dalam negeri.” Si A masih kekeh membela pendapatnya.
“Itu nggak ada hubungannya!”
“Tentu saja ada. Lagian Drama Korea itu cuma menang tampang doang! Kamu juga ngaku deh, Kamu suka Drama Korea karena suka sama pemainnya, kan?!” Si A semangat sekali saat melakukan pembalasan tersebut. Sedangkan si B mulai marah. Dia merasa tersinggung rupanya.
“Tetep aja lebih bagus Drama Korea!”
“Ya Sinetron Indonesia lah,.” Si A juga tidak mau kalah.
“Drama Korea!”
“Sinetron Indonesia!”
“Kalian bisa diam nggak sih?!” Nah, ini aku yang membentak. Terbukti kan, perbedaan mereka itu menggangguku.
“Dia tuh yang mulai. Pake’ ngata-ngatain Sinetron Indonesia jelek, lagi.” Si A melempar tatapan tajam setajam silèt kepada si B.
“Memang begitu kenyataannya.”
“Apa?!” Oke, sekarang tatapannya tidak hanya setajam silèt, tapi matanya sudah hampir keluar karena melototin si B. Dan inilah bagian yang paling aku ingat, hehe.
“Sinetron Indonesia tidak jelek. Sinetron Indonesia penuh dengan nilai-nilai kehidupan.” Ini serius kawan, sinetron Indonesia memang penuh dengan nilai kehidupan. Tetapi memang untuk beberapa sinetron, hal ini tidak berlaku.
“Betul, betul, betul.” Si A buru-buru menimpali dengan semangat ayam goreng.
“Tapi, beberapa sinetron mempertontonkan kekerasan dan adegan yang tidak patut dicontoh.” Si A langsung mengeluarkan tatapan garangnya kepadaku. Tapi, itu tidaklah mempan padaku.
“Nah, denger tuh!!” Si B mengucapkan itu sambil senyum-senyum. Kelihatannya senang sekali.
“Drama Korea,.” Aku sengaja menggantung ucapanku agar si A dan si B perhatiannya terfokus kepadaku. “..bagus. Hanya saja jika aku menonton Drama Korea, aku tidak bisa menangkap amanat ataupun pelajaran didalamnya.” Ini jujur, aku kalau menonton Drama Korea hanya menikmati pemainnya saja, tapi tidak tahu kalau dengan kawan-kawan sekalian. Jika pemainnya tidak cocok, maka aku tidak akan menontonnya.
“Kan aku sudah bilang, drama Korea itu cuma menang tampang doang!” Si A buru-buru menimpali. Sepertinya ini dijadikannya ajang balas dendam untuk pernyataan si B tadi padanya.
“Itu karena Kau tidak menghayati drama yang Kau tonton!” Si B masih membela Drama Korea-nya.
“Kenapa aku harus menghayatinya? Aku itu tidak suka Sinetron Indonesia ataupun Drama Korea. Aku sukanya anime.” GUBRAK. Haha, ya kawan aku suka anime bukan sinetron atau drama.
“Hee??!!” Dan itu membuat kedua kawanku kaget hingga berteriak. Kenapa dalam hal ini mereka bisa kompak sih? Bikin sakit kuping aja.
“Sudahlah, intinya Kalian harus menghargai orang lain. Kalaupun Kau suka Sinetron Indonesia dia suka Drama Korea, ya udah hargai! Nggak perlu pake’ ngejelekin Drama Korea. Kamu juga, nggak usah ngejelekin Sinetron Indonesia.” Wess, bijak sekali aku.
Setelah itu kawan, masalah bagiku. Kenapa? Karena sekarang aku yang menjadi bahan ejekan mereka. Dibilangnya anime itu buat anak kecil lah, aku kayak anak kecil lah. Huh, harusnya kalian nonton anime yang aku tonton dulu, baru bilang begitu!! 

Sebenarnya aku hanya ingin menyampaikan apapun yang Kalian suka, jangan sampai merendahkan apalagi menjelek-jelekan apa yang disuka oleh orang lain.