Senin, 28 Desember 2015

naskah drama Seragam



Naskah Drama Adopsi Cerpen SERAGAM Karya Aris Kurniawan Basuki
Oleh Eva Fitriana S (1400003213)
SERAGAM
Siang hari cahaya terang  secerah mentari siang itu. Nampak sebuah rumah dengan bagian teras dan ruang tamunya. Di depan pintu tampak seorang lelaki tengah mengetuk pintu.
A: Assalamu’alaikum! (Sambil mengetuk pintu)
B: Wa’alaikumsalam. (Sambil membuka pintu. Terkejut setelah melihat siapa yang datang)
B: Mari masuk! (Setelah sadar dari keterkejutannya)
A: (Langsung menuju balai bambu bertikar pandan dan duduk)
B: (Ikut duduk dan diam sebentar menatap keluar jendela) Kapan Kau kembali? Dimana Kau tinggal sekarang?
A: Aku tinggal 30 KM dari sini. Maaf baru mengunjungimu. Sebenarnya, aku sudah pindah ke sini sudah 10 tahun.
B: Jadi, apa yang membawamu kemari?
A: Kenangan.
B: palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.
A: (Tersenyum) Ini soal kenangan kita di malam itu
Tirai menutup. Panggung berubah menjadi malam hari. Di rumah yang sama, dengan meja belajar dan lampu teplok. Seorang anak laki-laki tengah belajar ditemani anak lelaki yang sebaya di samping meja belajar. Di suut yang lain ada amben dengan lelaki paruh baya tengah merokok sambil tiduran. Di samping amben ada wanita paruh baya yang tengah memilin serabut kelapa menjadi tambang.
B: (Menutup bukunya) Sudah. Sebaiknya kamu pulang saja. Aku mau pergi mencari jangkrik.
A: Aku mau ikut!
B: Jangan! Nanti ayahmu marah.
C: Kau sebaiknya ijin dulu sama ayahmu.
A:  Aku jamin ayahku tidak akan marah. Nanti biar aku yang bilang padanya. Biarkan aku ikut!
B: (Saling pandang dengan ayahnya) Baiklah. (Berjalan keluar rumah)
A: (Mengikuti B)Ttidak ganti baju? (Melihat B masih mengenakan seragam pramuka)
B: Tanggung! (Menyalakan obor)
A: (Mengambil alih obor dan berjalan sejajar dengan B)
Panggung berganti. Terdapat pepohonan dan sawah.  Ada beberapa orang yang tampak sedang berburu jangkrik juga. Dua orang anak itu terus mencari jangkrik hingga ke tempat yang sepi. Lighting gelap, hanya ada cahaya obor di sekitar mereka.
A: Aku dapat! (Sambil berjongkok dan memegang jangkrik di tangan)
B: Taruh sini! (Menyodorkan sebuah bumbung)
A: (Meletakkan jangkrik ke dalam bumbung)
B: (Kembali mencari jangkrik)
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Suara angin terdengar kencang. Sorot lampu meredup. Api obor mengenai wajah A.
A: (Mengangkat tinggi-tinggi pantat obor hingga api berpindah ke punggungnya) Waaa!!!
B: (Menoleh ke A) Berguling-guling! (Melepas seragam pramukanya)
A: (Berguling-guling)
Suasana berubah mencekam. Music menjadi bertempo cepat. Lampu hidup mati-hidup mati sampai api di punggung A padam.
B: (Menghampiri A dan menyelimutinya dengan seragamnya. Dia mencari-cari orang untuk dimintai bantuan tetapi tidak ada orang) tenanglah! Aku akan membawamu. (menggendong a di punggungnya)
Panggung berganti. Terdapat sebuah rumah. Di terasnya ada sepasang suami istri tengah menanti anaknya. Dari kejauhan terlihat seorang anak tengah tertatih menggendong anak lain.
D: Kau apakan anakku? (Mengambil A dari gendongan B dan menyerahkannya pada istrinya)
B: Dia tidak sengaja terbakar api obor saat mencari jangkrik. (Berucap sambil menunduk karena takut)
E: Siapa yang mengajaknya mencari jangkrik? (Sambil mendekap A)
D: Pasti Kau yang mengajaknya! (Dilihatnya luka anaknya) Kau membuatnya terluka sampai seperti ini?! (Menampar B) Pergi!!
B: (Pergi sambil memegangi pipinya)
D: Sebaiknya kita bawa dia ke Pak Mantri. (Pergi bersama istrinya ke arah sebaliknya)
Tirai menutup. Cahaya menjadi terang kejinggaan. Panggung berubah menjadi pekarangan belakang rumah dengan sebuah gudang dan beberapa tumpuk bambu. dua orang paruh baya itu tengah berbincang di dekat gudang.
B: Aku sampai sebulan di hari Jum’at dan sabtu harus bolos sekolah karena tidak punya seragam pramuka.
A: Salahmu sendiri, tidak minta ganti.
B: Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikannya yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu. (Tertawa)
A: (Tertawa)
B: Sebentar lagi tanah ini akan disidang. (Menghela napas) Kakakku itu, masih sama sifatnya seperi Kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.
A: Ulahnya?
B: (Mengangguk) kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah miliki kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagungkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.
A: (Memberikan tepukan pada pundak B untuk menguatkannya) Sudah sore. Aku pamit dulu.
B: (Mengangguk) Baiklah. Kami akan bertahan.
Panggung berganti menjadi sebuah kamar yang cukup rapi. Cahaya terang pada sosok yang berdiri menghadap penonton dan pada seragam yang berada di sandaran kursi.
A: Kau tidak tahu. Akulah yang akan mengeksekusi pengosongan lahan rumahmu. (Ujarnya dengan suara parau)

Jumat, 18 Desember 2015

cerbung-MENCINTAI-prolog



MENCINTAI
“Iiih, bodoh sekali! Pilih saja dia yang sudah jelas-jelas mencintaimu!”
Teriakan memaki sang pemeran utama meluncur dari mulutku. Aku sedang menonton sinetron yang pemeran utamanya bodoh menurutku. Bagaimana dia bisa membiarkan dirinya terus mencintai laki-laki yang sama sekali tidak menaruh perasaan padanya. Sedangkan laki-laki yang jelas mencintainya justru diacuhkan. Menurutku itu adalah tindakan bodoh.
Meski jengkel setengah mati pada tokoh wanita di sinetron tersebut, tapi aku tetap saja menontonnya. Aku memang seorang penggila sinetron. Dan baru kali ini aku begitu gemas melihat kelakuan pemeran utamanya. Membiarkan dirinya terjebak pada cinta yang tak bersambut. Kenapa tidak memilih yang jelas-jelas rela mati untuknya? Aku benar-benar jengkel. Ingin sekali aku meneriakinya. Tapi jika itu kulakukan, apa bedanya aku dengan orang di pinggir jalan sana?
Kuraih kripik dalam toples. Ini sudah menjadi sesaji yang wajib ada saat aku sedang menonton sinetron selain tissue. Aku mengunyah kripik itu seirama dengan rasa gemasku. Sedang asik dengan sinetron ini, suara panggilan masuk berbunyi. Hp-ku bergetar di atas meja. Setelah kulihat nama yang tertera di layar, dengan malas aku mengangkatnya.
“Halo..” Kuucapkan setelah kutelan kripik yang tengah kukunyah.
“Halo, Ge?”
“Kenapa, Mi?”
“Kamu lagi apa, Ge?”
“Nggak usah basa-basi. Kenapa?” Aku sedang tidak senang sekarang. Karena acara nontonku jadi terganggu.
“Hehe,. Aku mau nginep di tempatmu, boleh?”
“Ck, aku kira kenapa. Dateng aja, aku juga lagi sendirian. Orang tuaku pergi.”
“Hore!!! Sayang Gea!!” Klik. Mati.
©©©
Sekarang di sinilah kita. Berbaring berdua di kasur yang sama. Minda, yang biasa kupanggil Mimi cerita kalau dia sedang bertengkar dengan kakaknya karena masalah Rio pacarnya yang berbeda agama dengannya. Kakaknya memang tidak setuju dengan hubungan mereka, tapi Mimi tetap pada pendiriannya. Mimi bilang da sangat mencintai Rio. Namun, kakaknya yang menjadi satu-satunya keluarga mimi karena orangtuanya telah meninggal itu tidak setuju. Mimi tidak bisa memilih salah satu diantara mereka. Dia tidak mau putus dengan Rio. Dia juga tidak mau menyakiti kakaknya.
Aku hanya bisa mengucapkan ‘sabar yah’. Mau bilang apa lagi? Aku tidak pandai dalam urusan percintaan. Maklumlah dalam usiaku yang beranjak tujuh belas tahun ini aku memang belum pernah pacaran. Bahkan mungkin jatuh cinta. Dan Mimi tahu itu. Makanya dia tidak meminta saran dariku, dia hanya cerita itu saja. Tapi yang namanya menjadi orang yang dicurhati, aku merasa bersalah tidak bisa memberi saran atau solusi untuk masalah temanku paling dekat ini.
Setelah bercerita, Mimi diam. Aku pun diam. Jadi dalam ruangan tersebut hanya terdengar suara napas kami. Atmosfer ruangan jadi tak menyenangkan. Aku tidak tahu harus bicara apa. Dan Mimi juga sepertinya masih menenangkan hatinya agar lebih baik lagi.
Setelah menenangkan perasaannya, Mimi mengalihkan pembicaraan. Menghilangkan atmosfer sedih di tengah-tengah kami. Seperti itulah dia. Dia tidak ingin masalahnya membuat sedih orang lain. Dia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya sinetron apa yang aku tonton tadi. Mimi pandai sekali mengalihkan perhatian. Dia tahu kalau sudah menyangkut sinetron aku bisa melupakan apa saja. Segera saja kuceritakan dengan begitu bersemangat tentang sinetron yang kutonton tadi. Tak luput juga tentang betapa bodohnya pemeran utama yang tak menghiraukan teman laki-lakinya yang mencintainya dengan sepenuh hati.
“Wanita itu tidak bodoh, Ge.”
“Lalu apa namanya kalau tidak bodoh? Dia menyia-nyiakan seseorang yang begitu mencintainya. Bagiku, itu tindakan paling bodoh.” Kataku dengan bekobar-kobar semangatku.
“Kau bisa mengatakan dia bodoh karena mencintai laki-laki yang tidak mencintainya dan juga mengabaikan laki-laki yang mencintainya, sebab Kau belum merasakan jatuh cinta, Ge.”
Aku memandangnya yang ada di sampingku. Aku berpikir. Apa maksudnya? Dengan tenang, Mimi melanjutkan.
“Mencintai adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang hanya dimengerti oleh orang yang merasakannya. Kau harus jatuh cinta dulu untuk merasakan kebahagiaan itu.”
“Tapi, perhatian dari orang yang mencintai kita akan membuat kita bahagia, Mi.”
“Benar. Kau akan tahu sendiri jika jatuh cinta nanti.”
Sampai malam larut aku belum memejamkan mata. Aku terpikir oleh perkataan Mimi. Aku, hampir 17 tahun hidupku memang belum merasakan jatuh cinta atau dicintai. Aku sering iri melihat teman-temanku yang begitu dicintai oleh seorang laki-laki. Yang sampai dikejar-kejar. Bagiku, seseorang yang dicintai sangat teramat beruntung. Tapi, sampai saat ini belum terpikir olehku tentang mencintai. Ya, selama ini aku hanya melihat orang yang dicintai, melihat betapa beruntungnya mereka. Tak pernah sekalipun aku memikirkan tentang orang yang mencintai.
Dan menurut Mimi, masalahku hanya ‘aku tidak pernah jatuh cinta’. Sungguh ironis dan patut dikasihani, menurut Mimi. Tiba-tiba, aku ingin sekali merasakan jatuh cinta dan mencintai. Penasaran perasaanku tentang rasanya mencintai. Tapi, pada siapa aku harus jatuh cinta? Aku harus memilih pria yang tepat. Besok. Besok aku akan memulai perjalanan cintaku. Perjalanan menuju kebahagiaan mencintai.

Senin, 19 Oktober 2015

puisi lama; gurindam




Gurindam

Orang yang tiada berilmu
Dengan mudahnya ia tertipu

Fee-note

puisi lama; pantun



Pantun

Pergi ke pasar bersama ibu
Tidak lupa membeli kudapan
Rajin-rajinlah menuntut ilmu
Untuk bekal di masa depan

Fee-note