Senja
Namaku
Sri Dianka. Kau bisa menyebutku Dian. Aku seorang mahasiswa. Hiruk pikuk kampus
menjadi makanan setiap hari. Perkuliahan, tugas, kuis, ujian, adalah hal biasa
bagi seorang mahasiswa. Cerita ini bukan mengenai aku dan kuliahku. Tapi aku
dan senja. Tentang aku yang tak bisa melihat senja.
Aku
adalah seorang mahasiswa. Ah, benar, aku sudah mengatakannya. Sebagai seorang
mahasiswa semester 3, jadwalku mulai padat. Hanya kuliah, tidak ada kegiatan
organisasi karena aku memang tidak mengikuti organisasi apapun, sengaja. Bahkan
tanpa organisasi tenagaku sudah cukup terkuras dengan tugas-tugas kuliah. Dan dari
sini awal kejadian itu menimpaku.
Hari
itu, aku pulang dengan setumpuk tugas. Aku sampai di kos saat sore hari. Hari
itu, aku benar-benar malas melakukan apapun. Setelah meletakkan tas, aku segera
beranjak mandi. Aku ingin menyegarkan pikiranku sebelum meleburkan diri dengan
tugas-tugas itu. Bahkan di kamar mandi pun aku masih berdiam diri sebentar.
Entahlah, hari itu aku seakan dikuasai kemalasan. Bahkan menggerakkan tangan
untuk melepas baju pun susahnya bukan main. Sampai berkelana kemana-mana
pikiranku. Dulu, saat waktunya mandi seperti ini, aku selalu mengulur-ulur
waktu. Tapi jika sudah bersentuhan dengan air, maka aku akan betah berlama-lama
dalam kamar mandi. Tentu saja bermain
air sepuasnya. Tak akan berhenti jika belum mendengar omelan ibu. Aku juga
teringat aku pernah mandi bersama dengan sepupuku waktu kecil dulu. Sepupu
laki-laki. Jangan heran teman, hal itu biasa.
Kembali
lagi ke hari dimana kemalasan yang menguasai tubuh ini. Aku berhasil menyelesaikan
rentetan ritual mandi mulai dari membuka baju, membasahi seluruh tubuh,
menggosoknya, hingga membilas. Aku bahkan memijat bahu dan sekujur lengan serta
kakiku. Berharap bisa sedikit merilekskan tubuh ini. Saking malasnya, aku
sengaja menggosok tubuhku lebih lama. Menyusurinya perlahan, seolah-olah
merasakan setiap inchi kulitku. Diiringi lamunan. Aku menyelesaikannya satu
jam, mungkin lebih, itu termasuk melamun.
Setelah
mandi, aku tiduran sebentar –rencananya- karena aku bablas hingga malam. Saat
terbangun, jarum pendek berada di antara angka sembilan dan sepuluh. Kamar yang
gelap membuat pandanganku mengabur untuk sesaat. Saat korneaku sudah fokus, pandanganku
mengelilingi kamar. Aku berhenti di sudut belakang pintu yang tertutup rapat.
Aku melihat gelap. Gelap yang benar-benar gelap. Saat itu aku sudah mampu
melihat benda-benda dalam kamarku walau serupa bayangan. Namun gelap itu,
menggumpal dan hitam. Sekedipan gumpalan gelap itu bergerak, bukan gerakan yang
berarti memang. Hanya seperti tarikan napas, namun itu cukup membuatku
berjengit.
Seketika
napasku memburu, aku merapat ke tembok di belakangku. Berusaha tenang, aku
lebih memfokuskan penglihatanku, berharap gelap itu lenyap. Tapi yang terlihat
justru pergerakan yang lebih besar. Seperti punggung yang ditegakkan. Sesaat
aku lupa bernapas. Segera aku beranjak menuju saklar lampu dan menghidupkannya.
Dan gelap itu lenyap. Tak ada apapun di sudut belakang pintuku.
“Hanya
halusinasi, kah?” Batinku. Aku tidak mampu bersuara, napasku masih memburu
setelah tanpa sadar kutahan tadi.
Melalui
satu tarikan napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, aku mulai bisa
tenang. Menanamkan bahwa itu hanya halusinasi selepas tidur, aku beranjak ke
kamar mandi untuk membasuh muka. Kembali ke kamar dengan wajah yang segar, aku
mendudukkan diri di kasur dan teringat akan tugas kuliahku. Aku berpikir untuk
mengerjakannya saja sambil menunggu kantukku datang lagi.
Tapi
kantuk itu tak kunjung datang, hingga pagi menjelang.
***
Hari
berikutnya, teman, aku melaluinya penuh dengan sendatan rasa kantuk. Setelah
tidak tidur semalaman, badanku tidak bisa diajak kerja sama lagi. Satu mata
kuliah terakhir aku memilih untuk melewatkannya. Aku memilih kembali ke kos
untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku juga menolak ajakan temanku, untuk pergi
jalan-jalan. Pukul 14.30 aku sampai di kos. Aku langsung menidurkan diri di
kasur bahkan tanpa berganti baju. Tak butuh waktu lama aku sudah pergi menuju
alam mimpi.
Aku
terbangun saat hari sudah gelap. Aku kembali melihat gumpalan gelap itu lagi.
Sama seperti sebelumnya, ia bergerak perlahan seperti seorang yang bernapas.
Dia tidak bergerak menghampiri atau pun berpindah tempat. Aku mengusap mataku,
tapi gumpalan itu tidak mau hilang. Akhirnya ia menghilang saat aku menghidupkan
lampu.
Hal
ini tidak aku anggap sebagai halusinasi lagi. Aku mengkhawatirkan sesuatu. Aku
mempercayai adanya makhluk lain. Kemungkinan itu, membuat pikiranku terganggu.
Aku menelpon orang tuaku hari itu, berusaha mengembalikan ketenangan hatiku.
Tapi tak kunjung diangkat. Kutengok jam. Ternyata sudah hampir tengah malam,
pantas jika panggilanku tak dijawab. Mereka sudah tidur. Sekarang, aku
kepikiran dengan apa yang kulihat tadi. Dan itu membuatku tidak bisa tidur
lagi. Hingga pagi.
***
Kuliah
hari selanjutnya pun aku lalui dengan tidak bersemangat. Aku kurang tidur, dan
pikiranku tidak tenang. Karena hal itu, aku mendapatkan masalah. Aku mendapat
tambahan tugas karena lupa mengerjakan tugas. Lalu, aku hampir mencelakai
seseorang karena terpeleset di tangga sebab pandanganku yang tiba-tiba
berkunang. Selain itu, aku juga bertengkar dengan temanku.
“Kau
tidak ikut mengerjakan, jadi Kau tidak ada hak mencantumkan nama di makalah
ini.” Dengan tegas temanku menolak permohonanku untuk tetap mencantumkan nama
di makalah untuk tugas esok hari.
“Mengertilah,
aku sedang tidak enak badan, Ris.”
“Seger
buger gini, kok. Gak usah banyak alasan. Kita susah-susah ngerjain kau tinggal
tulis nama doang, enak banget hidupmu!”
“Aku
gak bohong! Kalo aku sehat juga aku bakal bantuin. Kamu gak ngrasain sih!”
“Bodo’!
Kamu cari aja kelompok lain yang bersedia menampung namamu dengan suka rela.”
Katanya sambil berbalik pergi.
“Brengsek!”
Itu pertama kalinya aku mengumpati temanku. Tidak keras memang, tapi dia
mendengarnya. Dia sempat memelototi aku, sebelum kembali melengos pergi. Mulai
saat itu dia selalu sinis padaku.
Dengan
segala masalah yang timbul hari itu, aku memutuskan untuk tidur saat menjelang
sore agar aku bisa lembur. Alasan lain adalah karena badanku sudah sangat lemas
dengan mood yang tidak mendukung
untuk mengerjakan tugas. Jadilah aku kembali begadang setelah hampir pukul
22.00 terbangun.
Mulai
dari sana, aku mulai sering tidur sore dan memilih mengerjakan tugas malam
hari. Kalau tidak ada tugas, aku hanya begadang tanpa melakukan apapun,
memainkan telepon genggam tanpa ada yang bisa diajak chatting. Aku juga sudah
mulai terbiasa dengan gumpalan hitam yang aku lihat selepas bangun tidur. Tapi,
tidak untuk waktu yang lama.
***
Entah
sudah berapa lama aku memiliki kebiasaan tidur saat senja. Hingga tanpa sadar
melewatkan banyak hal. Aku sudah memasuki ujian akhir. Saat memasuki masa-masa
ujian inilah perubahan pada lingkunganku sangat terasa. Teman-temanku telah
berubah. Beberapa di antaranya aku tak mengenalinya. Bahkan saat mereka
menyapaku, aku hanya tersenyum karena aku tidak bisa menyapa balik –karena
tidak tahu nama mereka. Aku juga kesulitan mengobrol dengan yang lain, aku
merasa ada jurang pemisah antara aku dan teman-teman sekelasku.
Mulai
dari sana, baru kusadari aku sendirian. Tidak memiliki teman –dalam artian yang
sebenarnya. Hubunganku dengan teman sekelas juga menjadi canggung. Ini
menyulitkan sekali. Dan aku merasa seperti tidak ada yang peduli padaku. Aku
merasa… sesak.
Selepas
ujian mata kuliah yang terakhir, aku termenung di salah satu bangku di taman
kampus. Aku melamun, pikiranku entah kemana. Tiba-tiba saja aku merindukan
kampungku. Merindukan teman-temanku di sana. Mengingat mereka, mataku memanas.
Aku mendongak untuk menahan tumpahan air mata. Rasanya menyedihkan sekali
mengetahui bahwa aku di sini tidak memiliki siapa pun yang bisa menjadi
tempatku bercurah.
Merasa
air mataku bisa dibendung, aku kembali menegakkan kepalaku dan saat itulah aku
bertubrukan dengan gumpalan itu. Gumpalan gelap itu bahkan lebih besar dibanding
saat terakhir aku mengingatnya. Ia berada di sudut bangunan depanku. Bagaimana
mungkin gumpalan itu ada di sini? Di siang hari? Dia tidak menghilang meski
diterpa sinar matahari. Bahkan aku sudah mengusap mataku terlampau keras.
Gumpalan itu bergerak, seperti menegakkan punggungnya. Beberapa orang lewat dan
menghalangi pandangku dari gumpalan gelap itu. Ketika tak lagi terhalang, gumpalan
itu menghilang.
Hilangnya
gumpalan itu membuatku tanpa sadar mencarinya. Aku mengedarkan pandanganku. Dan
terlihat. Gumpalan itu kini berada di bawah pohon rindang di depanku. Dia
semakin dekat denganku. Aku mulai merasa dingin, membuat bulu kudukku berdiri.
Aku sungguh takut. Mataku terpaku, bahkan otakku kehilangan kuasa akan tubuhku.
Gumpalan hitam itu bergerak lagi. Setiap ia bergerak aku merasa seakan ada
sepasang mata yang menatapku tajam. Aku semakin kesulitan bernapas dan mataku
membelalak melihat gumpalan itu bergerak mendekat. Semakin dekat, membuat udara
di sekitar seakan memberat. Lebih dekat, membuat kemampuan indraku menghilang.
Dia semakin dekat hingga aku melihat gelap yang hitam pekat. Sekedipan mata, ia
muncul di hadapanku.
“Waa!!”
Tubuhku terlonjak.
“Aaahh!!”
“Hei,
tenang! Ini aku.” Seorang pemuda muncul di hadapanku. Dia mengembalikan
napasku.
Aku
melirik belakangnya, bayangan itu masih ada. Segera saja aku menyeret pemuda
itu membawanya ke koridor dekat kantin. Sengaja memilih tempat yang ramai.
Meski napasku sudah kembali, tapi tubuhku tidak berhenti bergetar. Bahkan kini
pandanganku mulai berkunang dan kepalaku terasa nyeri.
“Kau
tak apa?”
“Aku
baik. Kau, siapa?”
Pemuda
di depanku tampak sedikit terkejut. Tapi kemudian ia tersenyum sambil
memperkenalkan diri. Ia bilang kami sempat berkenalan tiga hari sebelumnya di
perpustakaan. Tapi entah mengapa aku tidak mengingatnya. Aku merasa linglung.
***
Libur
semester akhirnya datang. Aku sudah berada di rumah orang tuaku di kampung. Sungguh
sangat kurindukan rumah ini. Aku tiba di rumah menjelang sore. Dan karena
tubuhku begitu lelah setelah perjalanan, aku langsung terlelap begitu
menidurkan diri di kasur. Aku terbangun saat orang tuaku membangunkanku untuk
makan malam.
Lagi.
Aku melewatkan senja.
“Tadi
temanmu datang, ndok. Pas kamu masih tidur.”
“Siapa,
Bu?”
“Si
Mela.”
“Oh.”
Mela adalah temanku sejak SD. Dia tetanggaku juga. Kami sering bermain hingga
senja datang. Membuat kami sering berada dalam masalah. Terutama omelan ibu.
“Kamu
kelihatan lemes, kenapa?”
“Ndak
apa-apa, Pak.”
Aku
hendak berdiri mengambil minum, tapi pandanganku berkunang, membuatku kembali
terduduk. Pergerakan tiba-tiba itu membuat sendokku terjatuh dan orang tuaku
sedikit khawatir. Aku mengatakan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Dan
segera mengambil sendok di bawah meja. Dan gelap itu terlihat. Di bawah kursi
bapak. Aku tak berani melihatnya, takut ia akan mendekat jika aku menatap
gumpalan itu.
Selesai
makan, aku memberanikan diri untuk mengatakan pada orang tuaku. Aku memberitahu
mengenai gumpalan hitam yang aku lihat. Aku mengatakan awalnya adalah setelah
bangun tidur, namun akhir-akhir ini gumpalan itu muncul bahkan ketika aku
sadar. Orang tuaku hanya mengatakan untuk memperbanyak doa.
Sore
itu teman, untuk pertama kalinya semenjaka beberapa bulan terakhir, aku
termenung memikirkan perkataan orang tuaku, bertemankan senja. Aku tak
melewatkannya untuk mengarungi mimpi lagi. Benarkah aku kurang dalam berdoa?
Kalau dipikir-pikir, aku hnya melewatkan salat magrib, aku selalu salat untuk
waktu yang lain. Meskipun tidak tepat waktu. Apalagi isya, aku akan salat
setelah terbangun. Intinya, aku hanya melewatkan satu waktu salat. Banyak orang
yang melewatkan lebih dari satu waktu salat dan mereka baik-baik saja, jadi
mengenai gumpalan gelap itu, tidak ada hubungannya dengan aku yang melewatkan
waktu salat magrib.
Saat
pikiran itu melintas, dari kejauhan terdengar suara azan magrib disusul
suara-suara yang lain. Membuatnya bersaut-sautan. Beberapa anak-anak mulai
berlarian ke masjid sambil bernyanyi-nyanyi. Dari kejauhan terdengar nyanyian
mereka,
…
Padang bulan, padange koyo rino
Rembulane sing ngawe-awe
Ngelengake, ojo podo turu sore
…
Dan
aku menyadari satu hal.
Senja,
pergantian waktu yang begitu nyata. Sebuah pelabuhan, waktunya berlabuh bagi
sang mentari setelah mengitari hari. Simbol pertukaran, saat di mana mentari
bertukar tugas dengan rembulan untuk menyinari bumi. Dan senja adalah waktu
larangan.
***
Ev
Tidak ada komentar:
Posting Komentar