Kamis, 12 April 2018

Senja



Senja

Namaku Sri Dianka. Kau bisa menyebutku Dian. Aku seorang mahasiswa. Hiruk pikuk kampus menjadi makanan setiap hari. Perkuliahan, tugas, kuis, ujian, adalah hal biasa bagi seorang mahasiswa. Cerita ini bukan mengenai aku dan kuliahku. Tapi aku dan senja. Tentang aku yang tak bisa melihat senja.

Aku adalah seorang mahasiswa. Ah, benar, aku sudah mengatakannya. Sebagai seorang mahasiswa semester 3, jadwalku mulai padat. Hanya kuliah, tidak ada kegiatan organisasi karena aku memang tidak mengikuti organisasi apapun, sengaja. Bahkan tanpa organisasi tenagaku sudah cukup terkuras dengan tugas-tugas kuliah. Dan dari sini awal kejadian itu menimpaku.

Hari itu, aku pulang dengan setumpuk tugas. Aku sampai di kos saat sore hari. Hari itu, aku benar-benar malas melakukan apapun. Setelah meletakkan tas, aku segera beranjak mandi. Aku ingin menyegarkan pikiranku sebelum meleburkan diri dengan tugas-tugas itu. Bahkan di kamar mandi pun aku masih berdiam diri sebentar. Entahlah, hari itu aku seakan dikuasai kemalasan. Bahkan menggerakkan tangan untuk melepas baju pun susahnya bukan main. Sampai berkelana kemana-mana pikiranku. Dulu, saat waktunya mandi seperti ini, aku selalu mengulur-ulur waktu. Tapi jika sudah bersentuhan dengan air, maka aku akan betah berlama-lama dalam  kamar mandi. Tentu saja bermain air sepuasnya. Tak akan berhenti jika belum mendengar omelan ibu. Aku juga teringat aku pernah mandi bersama dengan sepupuku waktu kecil dulu. Sepupu laki-laki. Jangan heran teman, hal itu biasa.

Kembali lagi ke hari dimana kemalasan yang menguasai tubuh ini. Aku berhasil menyelesaikan rentetan ritual mandi mulai dari membuka baju, membasahi seluruh tubuh, menggosoknya, hingga membilas. Aku bahkan memijat bahu dan sekujur lengan serta kakiku. Berharap bisa sedikit merilekskan tubuh ini. Saking malasnya, aku sengaja menggosok tubuhku lebih lama. Menyusurinya perlahan, seolah-olah merasakan setiap inchi kulitku. Diiringi lamunan. Aku menyelesaikannya satu jam, mungkin lebih, itu termasuk melamun.

Setelah mandi, aku tiduran sebentar –rencananya- karena aku bablas hingga malam. Saat terbangun, jarum pendek berada di antara angka sembilan dan sepuluh. Kamar yang gelap membuat pandanganku mengabur untuk sesaat. Saat korneaku sudah fokus, pandanganku mengelilingi kamar. Aku berhenti di sudut belakang pintu yang tertutup rapat. Aku melihat gelap. Gelap yang benar-benar gelap. Saat itu aku sudah mampu melihat benda-benda dalam kamarku walau serupa bayangan. Namun gelap itu, menggumpal dan hitam. Sekedipan gumpalan gelap itu bergerak, bukan gerakan yang berarti memang. Hanya seperti tarikan napas, namun itu cukup membuatku berjengit.

Seketika napasku memburu, aku merapat ke tembok di belakangku. Berusaha tenang, aku lebih memfokuskan penglihatanku, berharap gelap itu lenyap. Tapi yang terlihat justru pergerakan yang lebih besar. Seperti punggung yang ditegakkan. Sesaat aku lupa bernapas. Segera aku beranjak menuju saklar lampu dan menghidupkannya. Dan gelap itu lenyap. Tak ada apapun di sudut belakang pintuku.

“Hanya halusinasi, kah?” Batinku. Aku tidak mampu bersuara, napasku masih memburu setelah tanpa sadar kutahan tadi.

Melalui satu tarikan napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan, aku mulai bisa tenang. Menanamkan bahwa itu hanya halusinasi selepas tidur, aku beranjak ke kamar mandi untuk membasuh muka. Kembali ke kamar dengan wajah yang segar, aku mendudukkan diri di kasur dan teringat akan tugas kuliahku. Aku berpikir untuk mengerjakannya saja sambil menunggu kantukku datang lagi.

Tapi kantuk itu tak kunjung datang, hingga pagi menjelang.

***

Hari berikutnya, teman, aku melaluinya penuh dengan sendatan rasa kantuk. Setelah tidak tidur semalaman, badanku tidak bisa diajak kerja sama lagi. Satu mata kuliah terakhir aku memilih untuk melewatkannya. Aku memilih kembali ke kos untuk mengistirahatkan tubuhku. Aku juga menolak ajakan temanku, untuk pergi jalan-jalan. Pukul 14.30 aku sampai di kos. Aku langsung menidurkan diri di kasur bahkan tanpa berganti baju. Tak butuh waktu lama aku sudah pergi menuju alam mimpi.
Aku terbangun saat hari sudah gelap. Aku kembali melihat gumpalan gelap itu lagi. Sama seperti sebelumnya, ia bergerak perlahan seperti seorang yang bernapas. Dia tidak bergerak menghampiri atau pun berpindah tempat. Aku mengusap mataku, tapi gumpalan itu tidak mau hilang. Akhirnya ia menghilang saat aku menghidupkan lampu.

Hal ini tidak aku anggap sebagai halusinasi lagi. Aku mengkhawatirkan sesuatu. Aku mempercayai adanya makhluk lain. Kemungkinan itu, membuat pikiranku terganggu. Aku menelpon orang tuaku hari itu, berusaha mengembalikan ketenangan hatiku. Tapi tak kunjung diangkat. Kutengok jam. Ternyata sudah hampir tengah malam, pantas jika panggilanku tak dijawab. Mereka sudah tidur. Sekarang, aku kepikiran dengan apa yang kulihat tadi. Dan itu membuatku tidak bisa tidur lagi. Hingga pagi.

***

Kuliah hari selanjutnya pun aku lalui dengan tidak bersemangat. Aku kurang tidur, dan pikiranku tidak tenang. Karena hal itu, aku mendapatkan masalah. Aku mendapat tambahan tugas karena lupa mengerjakan tugas. Lalu, aku hampir mencelakai seseorang karena terpeleset di tangga sebab pandanganku yang tiba-tiba berkunang. Selain itu, aku juga bertengkar dengan temanku.

“Kau tidak ikut mengerjakan, jadi Kau tidak ada hak mencantumkan nama di makalah ini.” Dengan tegas temanku menolak permohonanku untuk tetap mencantumkan nama di makalah untuk tugas esok hari.

“Mengertilah, aku sedang tidak enak badan, Ris.”

“Seger buger gini, kok. Gak usah banyak alasan. Kita susah-susah ngerjain kau tinggal tulis nama doang, enak banget hidupmu!”

“Aku gak bohong! Kalo aku sehat juga aku bakal bantuin. Kamu gak ngrasain sih!”

“Bodo’! Kamu cari aja kelompok lain yang bersedia menampung namamu dengan suka rela.” Katanya sambil berbalik pergi.

“Brengsek!” Itu pertama kalinya aku mengumpati temanku. Tidak keras memang, tapi dia mendengarnya. Dia sempat memelototi aku, sebelum kembali melengos pergi. Mulai saat itu dia selalu sinis padaku.

Dengan segala masalah yang timbul hari itu, aku memutuskan untuk tidur saat menjelang sore agar aku bisa lembur. Alasan lain adalah karena badanku sudah sangat lemas dengan mood yang tidak mendukung untuk mengerjakan tugas. Jadilah aku kembali begadang setelah hampir pukul 22.00 terbangun. 

Mulai dari sana, aku mulai sering tidur sore dan memilih mengerjakan tugas malam hari. Kalau tidak ada tugas, aku hanya begadang tanpa melakukan apapun, memainkan telepon genggam tanpa ada yang bisa diajak chatting. Aku juga sudah mulai terbiasa dengan gumpalan hitam yang aku lihat selepas bangun tidur. Tapi, tidak untuk waktu yang lama.

***

Entah sudah berapa lama aku memiliki kebiasaan tidur saat senja. Hingga tanpa sadar melewatkan banyak hal. Aku sudah memasuki ujian akhir. Saat memasuki masa-masa ujian inilah perubahan pada lingkunganku sangat terasa. Teman-temanku telah berubah. Beberapa di antaranya aku tak mengenalinya. Bahkan saat mereka menyapaku, aku hanya tersenyum karena aku tidak bisa menyapa balik –karena tidak tahu nama mereka. Aku juga kesulitan mengobrol dengan yang lain, aku merasa ada jurang pemisah antara aku dan teman-teman sekelasku.

Mulai dari sana, baru kusadari aku sendirian. Tidak memiliki teman –dalam artian yang sebenarnya. Hubunganku dengan teman sekelas juga menjadi canggung. Ini menyulitkan sekali. Dan aku merasa seperti tidak ada yang peduli padaku. Aku merasa… sesak.

Selepas ujian mata kuliah yang terakhir, aku termenung di salah satu bangku di taman kampus. Aku melamun, pikiranku entah kemana. Tiba-tiba saja aku merindukan kampungku. Merindukan teman-temanku di sana. Mengingat mereka, mataku memanas. Aku mendongak untuk menahan tumpahan air mata. Rasanya menyedihkan sekali mengetahui bahwa aku di sini tidak memiliki siapa pun yang bisa menjadi tempatku bercurah.

Merasa air mataku bisa dibendung, aku kembali menegakkan kepalaku dan saat itulah aku bertubrukan dengan gumpalan itu. Gumpalan gelap itu bahkan lebih besar dibanding saat terakhir aku mengingatnya. Ia berada di sudut bangunan depanku. Bagaimana mungkin gumpalan itu ada di sini? Di siang hari? Dia tidak menghilang meski diterpa sinar matahari. Bahkan aku sudah mengusap mataku terlampau keras. Gumpalan itu bergerak, seperti menegakkan punggungnya. Beberapa orang lewat dan menghalangi pandangku dari gumpalan gelap itu. Ketika tak lagi terhalang, gumpalan itu menghilang. 

Hilangnya gumpalan itu membuatku tanpa sadar mencarinya. Aku mengedarkan pandanganku. Dan terlihat. Gumpalan itu kini berada di bawah pohon rindang di depanku. Dia semakin dekat denganku. Aku mulai merasa dingin, membuat bulu kudukku berdiri. Aku sungguh takut. Mataku terpaku, bahkan otakku kehilangan kuasa akan tubuhku. Gumpalan hitam itu bergerak lagi. Setiap ia bergerak aku merasa seakan ada sepasang mata yang menatapku tajam. Aku semakin kesulitan bernapas dan mataku membelalak melihat gumpalan itu bergerak mendekat. Semakin dekat, membuat udara di sekitar seakan memberat. Lebih dekat, membuat kemampuan indraku menghilang. Dia semakin dekat hingga aku melihat gelap yang hitam pekat. Sekedipan mata, ia muncul di hadapanku.

“Waa!!” Tubuhku terlonjak.

“Aaahh!!”

“Hei, tenang! Ini aku.” Seorang pemuda muncul di hadapanku. Dia mengembalikan napasku. 

Aku melirik belakangnya, bayangan itu masih ada. Segera saja aku menyeret pemuda itu membawanya ke koridor dekat kantin. Sengaja memilih tempat yang ramai. Meski napasku sudah kembali, tapi tubuhku tidak berhenti bergetar. Bahkan kini pandanganku mulai berkunang dan kepalaku terasa nyeri.

“Kau tak apa?”

“Aku baik. Kau, siapa?”

Pemuda di depanku tampak sedikit terkejut. Tapi kemudian ia tersenyum sambil memperkenalkan diri. Ia bilang kami sempat berkenalan tiga hari sebelumnya di perpustakaan. Tapi entah mengapa aku tidak mengingatnya. Aku merasa linglung.

***

Libur semester akhirnya datang. Aku sudah berada di rumah orang tuaku di kampung. Sungguh sangat kurindukan rumah ini. Aku tiba di rumah menjelang sore. Dan karena tubuhku begitu lelah setelah perjalanan, aku langsung terlelap begitu menidurkan diri di kasur. Aku terbangun saat orang tuaku membangunkanku untuk makan malam.

Lagi. Aku melewatkan senja. 

“Tadi temanmu datang, ndok. Pas kamu masih tidur.”

“Siapa, Bu?”

“Si Mela.”

“Oh.” Mela adalah temanku sejak SD. Dia tetanggaku juga. Kami sering bermain hingga senja datang. Membuat kami sering berada dalam masalah. Terutama omelan ibu.

“Kamu kelihatan lemes, kenapa?”

“Ndak apa-apa, Pak.”

Aku hendak berdiri mengambil minum, tapi pandanganku berkunang, membuatku kembali terduduk. Pergerakan tiba-tiba itu membuat sendokku terjatuh dan orang tuaku sedikit khawatir. Aku mengatakan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Dan segera mengambil sendok di bawah meja. Dan gelap itu terlihat. Di bawah kursi bapak. Aku tak berani melihatnya, takut ia akan mendekat jika aku menatap gumpalan itu.

Selesai makan, aku memberanikan diri untuk mengatakan pada orang tuaku. Aku memberitahu mengenai gumpalan hitam yang aku lihat. Aku mengatakan awalnya adalah setelah bangun tidur, namun akhir-akhir ini gumpalan itu muncul bahkan ketika aku sadar. Orang tuaku hanya mengatakan untuk memperbanyak doa.

Sore itu teman, untuk pertama kalinya semenjaka beberapa bulan terakhir, aku termenung memikirkan perkataan orang tuaku, bertemankan senja. Aku tak melewatkannya untuk mengarungi mimpi lagi. Benarkah aku kurang dalam berdoa? Kalau dipikir-pikir, aku hnya melewatkan salat magrib, aku selalu salat untuk waktu yang lain. Meskipun tidak tepat waktu. Apalagi isya, aku akan salat setelah terbangun. Intinya, aku hanya melewatkan satu waktu salat. Banyak orang yang melewatkan lebih dari satu waktu salat dan mereka baik-baik saja, jadi mengenai gumpalan gelap itu, tidak ada hubungannya dengan aku yang melewatkan waktu salat magrib.

Saat pikiran itu melintas, dari kejauhan terdengar suara azan magrib disusul suara-suara yang lain. Membuatnya bersaut-sautan. Beberapa anak-anak mulai berlarian ke masjid sambil bernyanyi-nyanyi. Dari kejauhan terdengar nyanyian mereka,
Padang bulan, padange koyo rino
Rembulane sing ngawe-awe
Ngelengake, ojo podo turu sore
Dan aku menyadari satu hal.

Senja, pergantian waktu yang begitu nyata. Sebuah pelabuhan, waktunya berlabuh bagi sang mentari setelah mengitari hari. Simbol pertukaran, saat di mana mentari bertukar tugas dengan rembulan untuk menyinari bumi. Dan senja adalah waktu larangan. 

***

Ev

Senin, 28 Desember 2015

naskah drama Seragam



Naskah Drama Adopsi Cerpen SERAGAM Karya Aris Kurniawan Basuki
Oleh Eva Fitriana S (1400003213)
SERAGAM
Siang hari cahaya terang  secerah mentari siang itu. Nampak sebuah rumah dengan bagian teras dan ruang tamunya. Di depan pintu tampak seorang lelaki tengah mengetuk pintu.
A: Assalamu’alaikum! (Sambil mengetuk pintu)
B: Wa’alaikumsalam. (Sambil membuka pintu. Terkejut setelah melihat siapa yang datang)
B: Mari masuk! (Setelah sadar dari keterkejutannya)
A: (Langsung menuju balai bambu bertikar pandan dan duduk)
B: (Ikut duduk dan diam sebentar menatap keluar jendela) Kapan Kau kembali? Dimana Kau tinggal sekarang?
A: Aku tinggal 30 KM dari sini. Maaf baru mengunjungimu. Sebenarnya, aku sudah pindah ke sini sudah 10 tahun.
B: Jadi, apa yang membawamu kemari?
A: Kenangan.
B: palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini.
A: (Tersenyum) Ini soal kenangan kita di malam itu
Tirai menutup. Panggung berubah menjadi malam hari. Di rumah yang sama, dengan meja belajar dan lampu teplok. Seorang anak laki-laki tengah belajar ditemani anak lelaki yang sebaya di samping meja belajar. Di suut yang lain ada amben dengan lelaki paruh baya tengah merokok sambil tiduran. Di samping amben ada wanita paruh baya yang tengah memilin serabut kelapa menjadi tambang.
B: (Menutup bukunya) Sudah. Sebaiknya kamu pulang saja. Aku mau pergi mencari jangkrik.
A: Aku mau ikut!
B: Jangan! Nanti ayahmu marah.
C: Kau sebaiknya ijin dulu sama ayahmu.
A:  Aku jamin ayahku tidak akan marah. Nanti biar aku yang bilang padanya. Biarkan aku ikut!
B: (Saling pandang dengan ayahnya) Baiklah. (Berjalan keluar rumah)
A: (Mengikuti B)Ttidak ganti baju? (Melihat B masih mengenakan seragam pramuka)
B: Tanggung! (Menyalakan obor)
A: (Mengambil alih obor dan berjalan sejajar dengan B)
Panggung berganti. Terdapat pepohonan dan sawah.  Ada beberapa orang yang tampak sedang berburu jangkrik juga. Dua orang anak itu terus mencari jangkrik hingga ke tempat yang sepi. Lighting gelap, hanya ada cahaya obor di sekitar mereka.
A: Aku dapat! (Sambil berjongkok dan memegang jangkrik di tangan)
B: Taruh sini! (Menyodorkan sebuah bumbung)
A: (Meletakkan jangkrik ke dalam bumbung)
B: (Kembali mencari jangkrik)
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Suara angin terdengar kencang. Sorot lampu meredup. Api obor mengenai wajah A.
A: (Mengangkat tinggi-tinggi pantat obor hingga api berpindah ke punggungnya) Waaa!!!
B: (Menoleh ke A) Berguling-guling! (Melepas seragam pramukanya)
A: (Berguling-guling)
Suasana berubah mencekam. Music menjadi bertempo cepat. Lampu hidup mati-hidup mati sampai api di punggung A padam.
B: (Menghampiri A dan menyelimutinya dengan seragamnya. Dia mencari-cari orang untuk dimintai bantuan tetapi tidak ada orang) tenanglah! Aku akan membawamu. (menggendong a di punggungnya)
Panggung berganti. Terdapat sebuah rumah. Di terasnya ada sepasang suami istri tengah menanti anaknya. Dari kejauhan terlihat seorang anak tengah tertatih menggendong anak lain.
D: Kau apakan anakku? (Mengambil A dari gendongan B dan menyerahkannya pada istrinya)
B: Dia tidak sengaja terbakar api obor saat mencari jangkrik. (Berucap sambil menunduk karena takut)
E: Siapa yang mengajaknya mencari jangkrik? (Sambil mendekap A)
D: Pasti Kau yang mengajaknya! (Dilihatnya luka anaknya) Kau membuatnya terluka sampai seperti ini?! (Menampar B) Pergi!!
B: (Pergi sambil memegangi pipinya)
D: Sebaiknya kita bawa dia ke Pak Mantri. (Pergi bersama istrinya ke arah sebaliknya)
Tirai menutup. Cahaya menjadi terang kejinggaan. Panggung berubah menjadi pekarangan belakang rumah dengan sebuah gudang dan beberapa tumpuk bambu. dua orang paruh baya itu tengah berbincang di dekat gudang.
B: Aku sampai sebulan di hari Jum’at dan sabtu harus bolos sekolah karena tidak punya seragam pramuka.
A: Salahmu sendiri, tidak minta ganti.
B: Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikannya yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu. (Tertawa)
A: (Tertawa)
B: Sebentar lagi tanah ini akan disidang. (Menghela napas) Kakakku itu, masih sama sifatnya seperi Kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.
A: Ulahnya?
B: (Mengangguk) kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah miliki kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagungkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.
A: (Memberikan tepukan pada pundak B untuk menguatkannya) Sudah sore. Aku pamit dulu.
B: (Mengangguk) Baiklah. Kami akan bertahan.
Panggung berganti menjadi sebuah kamar yang cukup rapi. Cahaya terang pada sosok yang berdiri menghadap penonton dan pada seragam yang berada di sandaran kursi.
A: Kau tidak tahu. Akulah yang akan mengeksekusi pengosongan lahan rumahmu. (Ujarnya dengan suara parau)

Jumat, 18 Desember 2015

cerbung-MENCINTAI-prolog



MENCINTAI
“Iiih, bodoh sekali! Pilih saja dia yang sudah jelas-jelas mencintaimu!”
Teriakan memaki sang pemeran utama meluncur dari mulutku. Aku sedang menonton sinetron yang pemeran utamanya bodoh menurutku. Bagaimana dia bisa membiarkan dirinya terus mencintai laki-laki yang sama sekali tidak menaruh perasaan padanya. Sedangkan laki-laki yang jelas mencintainya justru diacuhkan. Menurutku itu adalah tindakan bodoh.
Meski jengkel setengah mati pada tokoh wanita di sinetron tersebut, tapi aku tetap saja menontonnya. Aku memang seorang penggila sinetron. Dan baru kali ini aku begitu gemas melihat kelakuan pemeran utamanya. Membiarkan dirinya terjebak pada cinta yang tak bersambut. Kenapa tidak memilih yang jelas-jelas rela mati untuknya? Aku benar-benar jengkel. Ingin sekali aku meneriakinya. Tapi jika itu kulakukan, apa bedanya aku dengan orang di pinggir jalan sana?
Kuraih kripik dalam toples. Ini sudah menjadi sesaji yang wajib ada saat aku sedang menonton sinetron selain tissue. Aku mengunyah kripik itu seirama dengan rasa gemasku. Sedang asik dengan sinetron ini, suara panggilan masuk berbunyi. Hp-ku bergetar di atas meja. Setelah kulihat nama yang tertera di layar, dengan malas aku mengangkatnya.
“Halo..” Kuucapkan setelah kutelan kripik yang tengah kukunyah.
“Halo, Ge?”
“Kenapa, Mi?”
“Kamu lagi apa, Ge?”
“Nggak usah basa-basi. Kenapa?” Aku sedang tidak senang sekarang. Karena acara nontonku jadi terganggu.
“Hehe,. Aku mau nginep di tempatmu, boleh?”
“Ck, aku kira kenapa. Dateng aja, aku juga lagi sendirian. Orang tuaku pergi.”
“Hore!!! Sayang Gea!!” Klik. Mati.
©©©
Sekarang di sinilah kita. Berbaring berdua di kasur yang sama. Minda, yang biasa kupanggil Mimi cerita kalau dia sedang bertengkar dengan kakaknya karena masalah Rio pacarnya yang berbeda agama dengannya. Kakaknya memang tidak setuju dengan hubungan mereka, tapi Mimi tetap pada pendiriannya. Mimi bilang da sangat mencintai Rio. Namun, kakaknya yang menjadi satu-satunya keluarga mimi karena orangtuanya telah meninggal itu tidak setuju. Mimi tidak bisa memilih salah satu diantara mereka. Dia tidak mau putus dengan Rio. Dia juga tidak mau menyakiti kakaknya.
Aku hanya bisa mengucapkan ‘sabar yah’. Mau bilang apa lagi? Aku tidak pandai dalam urusan percintaan. Maklumlah dalam usiaku yang beranjak tujuh belas tahun ini aku memang belum pernah pacaran. Bahkan mungkin jatuh cinta. Dan Mimi tahu itu. Makanya dia tidak meminta saran dariku, dia hanya cerita itu saja. Tapi yang namanya menjadi orang yang dicurhati, aku merasa bersalah tidak bisa memberi saran atau solusi untuk masalah temanku paling dekat ini.
Setelah bercerita, Mimi diam. Aku pun diam. Jadi dalam ruangan tersebut hanya terdengar suara napas kami. Atmosfer ruangan jadi tak menyenangkan. Aku tidak tahu harus bicara apa. Dan Mimi juga sepertinya masih menenangkan hatinya agar lebih baik lagi.
Setelah menenangkan perasaannya, Mimi mengalihkan pembicaraan. Menghilangkan atmosfer sedih di tengah-tengah kami. Seperti itulah dia. Dia tidak ingin masalahnya membuat sedih orang lain. Dia mengalihkan pembicaraan dengan bertanya sinetron apa yang aku tonton tadi. Mimi pandai sekali mengalihkan perhatian. Dia tahu kalau sudah menyangkut sinetron aku bisa melupakan apa saja. Segera saja kuceritakan dengan begitu bersemangat tentang sinetron yang kutonton tadi. Tak luput juga tentang betapa bodohnya pemeran utama yang tak menghiraukan teman laki-lakinya yang mencintainya dengan sepenuh hati.
“Wanita itu tidak bodoh, Ge.”
“Lalu apa namanya kalau tidak bodoh? Dia menyia-nyiakan seseorang yang begitu mencintainya. Bagiku, itu tindakan paling bodoh.” Kataku dengan bekobar-kobar semangatku.
“Kau bisa mengatakan dia bodoh karena mencintai laki-laki yang tidak mencintainya dan juga mengabaikan laki-laki yang mencintainya, sebab Kau belum merasakan jatuh cinta, Ge.”
Aku memandangnya yang ada di sampingku. Aku berpikir. Apa maksudnya? Dengan tenang, Mimi melanjutkan.
“Mencintai adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang hanya dimengerti oleh orang yang merasakannya. Kau harus jatuh cinta dulu untuk merasakan kebahagiaan itu.”
“Tapi, perhatian dari orang yang mencintai kita akan membuat kita bahagia, Mi.”
“Benar. Kau akan tahu sendiri jika jatuh cinta nanti.”
Sampai malam larut aku belum memejamkan mata. Aku terpikir oleh perkataan Mimi. Aku, hampir 17 tahun hidupku memang belum merasakan jatuh cinta atau dicintai. Aku sering iri melihat teman-temanku yang begitu dicintai oleh seorang laki-laki. Yang sampai dikejar-kejar. Bagiku, seseorang yang dicintai sangat teramat beruntung. Tapi, sampai saat ini belum terpikir olehku tentang mencintai. Ya, selama ini aku hanya melihat orang yang dicintai, melihat betapa beruntungnya mereka. Tak pernah sekalipun aku memikirkan tentang orang yang mencintai.
Dan menurut Mimi, masalahku hanya ‘aku tidak pernah jatuh cinta’. Sungguh ironis dan patut dikasihani, menurut Mimi. Tiba-tiba, aku ingin sekali merasakan jatuh cinta dan mencintai. Penasaran perasaanku tentang rasanya mencintai. Tapi, pada siapa aku harus jatuh cinta? Aku harus memilih pria yang tepat. Besok. Besok aku akan memulai perjalanan cintaku. Perjalanan menuju kebahagiaan mencintai.